Penanaman Kecerdsan Emosional dan Spiritual di SD/MI (part 2)
Kecerdasan
emosi saja tidaklah cukup, khususnya yang berdimensi keTuhanan. Kecerdasan
emosi lebih berpusat pada rekonstruksi hubungan yang bersifat horizontal
(sosial). Sementara itu ada dimensi lain yang tidak kalah pentingnya bagi
kehidupan umat manusia, yaitu hubungan vertikal. Kemampuan dalam membangun
hubungan yang bersifat vertikal ini sering disebut dengan istilah kecerdasan
spiritual/spiritual quotient (SQ).
Menurut
Marsha Sinetar yang terkenal sebagai pendidik, penasehat, pengusaha, dan
penulis buku-buku best seller, mengatakan kecerdasan spiritual adalah cahaya
yang membangunkan keindahan tidur kita.
Kecerdasan
spiritual melibatkan kemampuan menghidupkan kebenaran yang paling dalam, yang
berarti mewujudkan hal terbaik, utuh dan paling manusiawi dalam batin. Gagasan,
energi, nilai, visi, dorongan, dan arah panggilan hidup mengalir dari dalam
dari suatu kesadaran hidup bersama cinta.
Menurut
Ary Ginanjar Agustian, kecerdasan spiritual adalah kemampuan untuk memberi
makna ibadah terhadap setiap perilaku dan kegiatan melalui langkah-langkah dan
pemikiran yang bersifat fitrah menuju manusia yang seutuhnya dan memiliki pola
pemikiran integralistik serta berprinsip hanya kepada Allah.
Ia
juga mencoba menggabungkan dua kecerdasan emosi dan spiritual tersebut dengan
menyinergikan keduanya. Penggabungan kedua energi tersebut digunakan untuk
menemukan pengetahuan yang benar dan hakiki sehingga dapat menyeimbangkan
kehidupan yang bersifat vertikal dan horizontal.
Penanaman
kecerdasan emosional dan spiritual sejak dini menjadi salah satu solusi dalam
menanggulangi kenakalan-kenakalan anak dan masalah-masalah anak yang dewasa ini
keluar dari batas kewajaran. Jika ditinjau lebih jauh banyak fenomena yang
terjadi pada anak sangat memprihatinkan, seperti banyak kasus bunuh diri anak,
kriminalitas anak, dan pergaulan anak yang semakin bebas, pertengkaran antar
pelajar, demo mahasiswa yang
berakibat kerusuhan, korupsi di lingkungan para pejabat Indonesia.
Menurut
Danim, fenomena kerusakan moral anak didik yang ditandai dengan berbagai
perilaku negatif bukan hanya terjadi di Indonesia, tetapi sudah menjadi
fenomena umum yang terjadi hampir di semua negara. Dengan demikian lembaga
pendidikan di negara manapun menghadapi tantangan yang hampir sama. Ia memandang
bahwa perbaikan moral para pelajar merupakan salah satu agenda pokok dalam
pembaharuan pendidikan.
Dunia
pendidikan di Indonesia, mayoritas lembaga pendidikan masih menitikberatkan
pada pengembangan kecerdasan intelektual (IQ), wawasan dan psikomotorik semata.
Padahal IQ yang tinggi tidak menjamin bahwa anak akan sukses dalam menjalani
kehidupannya.
Akan
tetapi akhir-akhir ini telah banyak bermunculan lembaga pendidikan bercirikan
Islam yang sistem pembelajarannya bertujuan untuk menanamkan dan mengembangkan
berbagai macam kecerdasan termasuk kecerdasan emosional dan spiritual.
Dominasi dan hegemoni kehidupan materialistik dan
positivistik telah mengantarkan manusia pada penghancuran dimensi hidup yang
lain. yakni dimensi spiritual sebagai dimensi yang berada di luar lingkaran
kultural materialistik dan positivistik. Tempat manusia menghubungkan diri
dengan The Higher Consciousness atau The
Source. Keputusan dalam The Higher
Consciousness ini menyebabkan manusia mengalami krisis multidimensi karena mereka sudah
sangat tergantung kepada sesuatu yang bersifat eksternal.
Orang-orang terutama di Barat memisahkan agama
dari ilmu pengetahuan, lalu berkembanglah gerakan menghidupkan ilmu pengetahuan
berdasarkan pada sekularisme, bahkan berdasarkan prinsip-prinsip yang menentang
agama, tetapi kita tidak harus mengambilnya dari ajaran-ajaran agama.
Sebaliknya, kita harus menjadikannya berdiri
sendiri yang diambil dari suara hati masyarakat, atau dari sumber apapun
asalkan bukan agama. Pemikiran moral masih tersisa tetapi tidak dengan label
agama
Dalam konteks inilah keberadaan “spiritualitas”
menjadi sangat penting bagi kehidupan manusia untuk mulai dilihat kembali
sebagai bagian integral kehidupannya. Kepuasan hidup, kebahagiaan, kedamaian
dan ketenangan batin adalah tujuan hidup manusia yang sesungguhnya. Semua itu
tidak bisa diselesaikan semata-mata hanya dengan pemenuhan kebutuhan material
saja, tetapi lebih jauh adalah kebutuhan ‘jiwa’ atau batin.
Untuk menyelesaikan permasalahan hidup yang
dihadapi, manusia dituntut untuk kreatif mengubah penderitaan menjadi semangat
(motivasi) hidup yang tinggi sehingga penderitaan berubah menjadi kebahagiaan
hidup. Untuk kepentingan ini, manusia memerlukan satu bentuk kecerdasan lain
selain IQ dan EQ, yakni kecerdasan spiritual (SQ; Spiritual Quetient).
Di akhir abad ke-20 (1990-an) Danah Zohar dan Ian Marshal melalui
penelitian ilmiahnya menemukan jenis kecerdasan, yaitu kecerdasan ketiga (third intelligence), yakni disebut-sebut sebagai The Ultimate Intelligence). Bagi Zohar
dan Marshall, komputer memiliki IQ yang tinggi. Hewan-hewan banyak yang memiliki EQ yang tinggi
Keduanya tidak pernah memiliki ‘kegelisahan’ dan
tidak pernah berpikir tentang dirinya, tentang orang lain dan tentang hidup
secara umum. Padahal, berpikir inilah sebenarnya esensi dari kemanusiaan
manusia.
Ibnu Khaldum menyebut kesempurnaan berpikir
manusia sebagai “kualitas manusia yang khusus” (a special quality of human being). Karena berpikir, kata beliau,
maka manusia berbeda dengan makhluk lain.
Berkat EQ manusia dapat mengobati dirinya sendiri,
akibat krisis multidimensi yang melanda manusia modern saat ini seperti krisis
eksistensi, (eksistesial crisis),
krisis spiritual (spiritual crisis),
dan atau krisis makna. SQ adalah jenis kecerdasan untuk menghadapi dan
memecahkan persoalan makna atau nilai, yaitu kecerdasan untuk menempatkan
perilaku dan hidup kita dalam konteks makna yang lebih luas dan kaya.
Salam Blogger Persahabatan
Jumiyati, S.Pd.I, M.Pd.
Komentar
Posting Komentar